Marilah Kita Berseru, “Indonesia Bersatu!”

Beberapa tahun belakangan istilah “polarisasi” atau pembagian atas dua bagian yang berlawanan; ngetren lagi. Kita banyak melihat contoh polarisasi ini di media sosial maupun percakapan sehari-hari: pengkotakan antara yang pro-sesuatu versus anti-sesuatu, moderat versus radikal, lokal versus asing, dan banyak lainnya. 

Hal ini diperparah ketika kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari satu kubu memposisikan semua yang tidak sepaham dengannya sebagai “orang luar” atau bahkan … musuh.

Apakah pengkotakan ini fenomena baru? Tidak juga. Sebelum tahun 1908, perjuangan Indonesia melawan penjajah bersifat kedaerahan. Ketika kita membaca perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Martha Christina Tiahahu sampai Tjoet Nya’ Dhien, masing-masing kerajaan atau wilayah berupaya mengusir penjajah. Apakah penjajahnya bisa dikalahkan? Bisa, di satu daerah, tapi mereka konsolidasi di daerah lain. Penjajahnya “bergeser” namun tidak keluar dari seluruh wilayah nusantara.

1908 – 1928: Gerakan menyatukan berbagai daerah, suku dan agama

Baru di tahun 1908-1915, mulai ada gerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia dan Tri Koro Darmo yang jadi wadah berkembangnya wacana nasionalisme lintas agama, kesukuan dan kedaerahan. Gerakan-gerakan kaum muda ini mengerucut pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan kemudian membuahkan satu tekad: menjadi negara merdeka dan berdaulat … yang terwujud 17 Agustus 1945, memanfaatkan kevakuman kekuasaan setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu.

Bagaimana dengan sekarang?

Ada beberapa studi yang mengindikasikan bahwa Indonesia semakin terpolarisasi sejak 2014, ketika kontestasi politik mulai diwarnai dengan riuhnya kampanye di media sosial dengan melibatkan netizen sebagai juru kampanye informal. 

Satu hal penting terkait Internet yang membuat polarisasi semakin mudah menyebar adalah kita hanya melihat konten yang kita suka di layar kita. Tidak seperti majalah atau koran yang kita baca dari depan sampai belakang, algoritma di situs pencarian atau media sosial akan memberikan konten yang serupa dengan yang sering kita klik sebelumnya. 

Dengan algoritma ini, kemungkinan kita hanya membaca atau mendengar hal-hal yang sesuai dengan asumsi awal dan pola pikir kita, membuat pemikiran kita menjadi semakin bias dan tertutup.

Kita bisa menghindari polarisasi yang dikondisikan oleh internet dan sosial media ini dengan beberapa upaya:

  • Membaca/menonton dari berbagai sumber yang kita tahu belum tentu berpandangan sama. Misalnya: kalau kita terbiasa baca kompas.com, coba sekali-sekali baca tirto.id. Kalau biasa nonton MetroTV, bisa diseimbangkan dengan nonton TVOne. Baca/tonton jangan hanya berita online yang pendek-pendek, tapi juga majalah dan laporan-laporan investigatif di televisi maupun majalah yang lebih mendalam.
  • Punya teman di dunia nyata yang berbeda latar belakang dan pandangan. Entah itu berbeda suku, agama, pilihan politik, budaya maupun kebiasaan. Berdiskusi dengan orang-orang yang berbeda namun menghargai perbedaan pandangan bisa memperkaya wawasan kita. Di masa pandemi ketika ngumpul bareng belum aman, kita bisa lakukan ini dengan bergabung di grup-grup diskusi online seperti Clubhouse atau di webinar yang belakangan ini menjamur.
  • Jangan mudah tersinggung. Perbedaan budaya, agama dan pola pikir akan membuat orang merespon percakapan dengan cara yang berbeda. Pahami bahwa sebagian besar hal jawabannya bukan benar/salah, hitam/putih, ya/tidak … tetapi spektrum. Misalnya, untuk menjawab pertanyaan sesimpel “di usia berapa anak bisa mulai diberi uang jajan” atau “sebaiknya saya pakai baju apa ke acara ini” saja tidak ada jawaban yang sepenuhnya benar atau salah. Apalagi pertanyaan yang lebih kompleks dan eksistensial. Sehingga perbedaan interpretasi adalah keniscayaan yang perlu dicerna, bukan dihindari.

Sudah 76 tahun Indonesia merdeka. Sekarang saatnya kita tidak hanya berseru, “Indonesia bersatu!” seperti syair di lagu kebangsaan kita, tapi mari kita bertanya pada diri sendiri, “Apa kontribusi saya bagi Indonesia bersatu?”

Penulis : Elina Ciptadi

Artikel Terkait :

Webinar Terkait :

Share :

Related articles